Monday, October 20, 2008

BERBAHAYAKAH ALERGI OBAT









ALERGI OBAT


Dr Widodo Judarwanto SpA

CHILDREN ALLERGY CLINIC
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 70081995
email :
cfc2006@hotmail.com , allergyonline@gmail.com
http://alergianak.blogspot.com

Alergi obat seringkali sulit dibedakan dengan reaksi jenis lain terhadap obat seperti toksisitas, efek samping, intoleransi, dan idiosinkrasi. Bahkan kadang juga sulit dibedakan dengan manifestasi gejala penyakit yang saat itu di alami penderita saat mengkonsumsi obat. Efek samping obat merupakan reaksi toksik dan reaksi interaksi obat yang timbul karena sifat farmakologik obat. Reaksi idiosinkrasi tidak berhubungan dengan sifat farmakologik obat, dan terdapat dengan proporsi yang bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui.

Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.

Semua efek samping obat itu digolongkan dalam istilah reaksi simpang obat (adverse drug reaction). Reaksi alergi obat harus dicurigai pada pasien yang mengalami erupsi kutaneus simetris mendadak setelah mengkonsumsi obat tertentu. Reaksi obat dapat diklasifikasikan menjadi etiologi imunologi dan nonimunologi (farmakologi). Sebagian besar reaksi obat (75-80%) disebabkan oleh efek non imunologi (farmakologi) yang dapat diprediksi. Sebanyak 20-25% disebabkan oleh efek yang tidak dapat diprediksi, baik yang diperantai atau tidak oleh imun. Reaksi imun terjadi pada 5-10% reaksi obat dan merupakan hipersensitivitas obat yang sebenarnya, dengan diperantarai oleh IgE.

Alergi obat pada anak lebih jarang terjadi dibandingkan dengan orang dewasa, akan tetapi sering menimbulkan masalah karena mirip dengan gejala alergi oleh penyebab lain yang sering terjadi pada anak, misalnya alergi makanan. Angka kejadian pada bayi dan anak jauh lebih rendah daripada dewasa, dan akan meningkat dengan bertambahnya usia. Akan tetapi angka kejadian sesungguhnya sulit diketahui karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi, terkadang tidak dikenali, dan mekanisme terjadinya masih belum jelas. Angka kejadian reaksi simpang obat yang dilaporkan di rumah sakit pada umumnya berkisar antara 5- 15% dari seluruh pasien yang berobat jalan serta 25% dari penderita rawat inap, dan 20-30% dari kejadian reaksi simpang obat tersebut merupakan alergi obat. Angka kejadian dalam masyarakat tentu lebih tinggi dan cenderung makin meningkat dengan makin meluasnya pemakaian obat.

PENYEBAB
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1-3% terhadap sebagian besar jenis obat.

Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion). sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat). Tetapi alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.

FAKTOR RISIKO

Faktor pejamu merupakan faktor yang cukup penting. Reaksi obat jarang terjadi pada bayi dan usia tua, disebabkan oleh imaturitas ataupun involusi dari sistem imun. Dapat pula disebabkan oleh pajanan yang lebih kerap pada orang dewasa. Pada beberapa studi didapatkan perempuan lebih rentan untuk mengalami alergi obat. Faktor genetik atau herediter dan status imun pejamu juga dapat meningkatkan risiko alergi obat. Anak dengan riwayat alergi obat pada orang tuanya mempunyai risiko terjadinya alergi obat sebanyak 25% dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak mempunyai riwayat alergi obat. Latar belakang atopi meningkatkan risiko reaksi hipersensitivitas tipe cepat terhadap obat menjadi lebih berat atau parah (Tabel 26-1).

Faktor risiko yang paling penting terletak pada properti kimiawi dan berat molekul dari obat tersebut. Semakin berat molekul dan semakin kompleks struktur obat, maka akan semakin imunogenik, seperti antisera heterolog, streptokinase dan insulin. Beberapa obat dengan berat molekul kecil dapat menimbulkan imunogenik jika bergabung dengan protein karier, seperti albumin, membentuk hapten. Masa kerja obat atau metabolit yang memanjang dan penggunaan yang berulang juga meningkatkan risiko reaksi imun yang terjadi. Pemberian terapi secara kontinus (berkelanjutan) dan dalam jangka waktu lama lebih sedikit menimbulkan sensitisasi dibandingkan pemberian secara frekuensi dan intensitten. Struktur kimia tertentu dapat menimbulkan sensitivitas silang terhadap obat lain.

Faktor lain yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas obat yaitu dosis obat dan cara pemberian, seperti topikal, intramuskular dan intravena yang lebih cenderung menyebabkan reaksi dibandingkan dengan oral. Pemberian obat secara topikal lebih ringan dalam proses sensitisasi dibandingkan pemberian secara parenteral. Anemia hemolitik yang disebabkan oleh penisilin disebabkan karena pemberian dengan dosis yang besar. Terapi polifarmasi dan penggunaan jangka lama juga dapat menyebabkan sensitisasi alergi. Adanya infeksi, kelainan metabolik dan imunokompromais juga meningkatkan risiko reaksi alergi.

PATOGENESIS


Alergi obat biasanya tidak dihubungkan dengan efek farmakologik, tidak tergantung dari dosis yang diberikan, dan tidak terjadi pada pajanan awal. Sensitisasi imunologik memerlukan pajanan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum timbul reaksi hipersensitivitas.
Substansi obat biasanya mempunyai berat molekul rendah sehingga tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan karier yang mempunyai berat molekul besar. Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan protein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.
Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera, ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang.

Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik) .

Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu :
  • Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi.
  • Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag.
  • Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG.
  • Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat.

Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.


Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun tubuh.

Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang. Setelah paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.

Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat jaringan sebagai antigen diri menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem imun tubuh, sehingga dapat terjadi reaksi autoimun. Contoh obatnya antara lain klorpromazin, isoniazid, penisilamin, fenitoin dan sulfasalazin. Bila sel sasaran ini adalah endotel pembuluh darah, maka dapat terjadi vaskulitis akibat aktivasi komplemen oleh kompleks imun pada permukaan sel endotel (misalnya pada serum sickness). Aktivasi komplemen ini mengakibatkan akumulasi sel polimorfonuklear dan pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi inflamasi dan kerusakan dinding pembuluh darah. Obat yang dapat menimbulkan reaksi seperti ini antara lain penisilin, sulfonamid, eritromisin, salisilat, isoniazid, dan lain-lain.
  • Reaksi tipe I merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius. Penyebab umum adalah molekul biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin.
  • Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.
  • Pada reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat antigen berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena penderita telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh obat tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin antilimfositik dan fenitoin.

  • Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen, misalnya pada dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel limfosit T yang akan tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering menimbulkan reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri, neomisin, nikel, antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, serta beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti parabens atau lanolin.
Reaksi non imun yang tidak dapat diprediksi diklasifikasikan dalam pseudoalergi, idiosinkrasi atau intoleransi. Reaksi pseudoalergi merupakan hasil aktivasi sel mast secara langsung, tidak melibatkan IgE spesifik dan degranulasi oleh agen seperti opiat, koloid ekspander, polipeptida, antiinflamasi non-steroid dan media radiokontras. Reaksi yang bersifat non imunologi ini dapat terjadi saat pertama kali paparan. Reaksi idiosinkrasi hanya terjadi pada sebagian kecil populasi, seperti hemolisis yang diinduksi obat pada orang dengan defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD). Intoleransi obat merupakan ambang batas yang lebih rendah terhadap aksi farmakologi obat, seperti terjadinya tinitus setelah pemberian aspirin (Tabel 26-3).

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala, dan pada seseorang dapat berbeda dengan orang lain. Gejala klinis tersebut kita sebut sebagai alergi obat bila terdapat antibodi atau sel limfosit T tersensitisasi yang spesifik terhadap obat atau metabolitnya, serta konsisten dengan gambaran reaksi inflamasi imunologik yang sudah dikenal.

Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai berat (Tabel 26-4). Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat berupa pruritus, urtikaria, purpura, dermatitis kontak, eritema multiform, eritema nodosum, erupsi obat fikstum, reaksi fotosensitivitas, atau reaksi yang lebih berat dermatitis eksfoliatif dan erupsi vesikobulosa seperti pada sindrom Stevens-Johnson dan sindrom Lyell.


Gejala klinis yang memerlukan pertolongan adekuat segera adalah reaksi anafilaksis karena dapat terjadi renjatan. Gejala klinis dapat berupa hipotensi, spasme bronkus, edema laring, angioedema, atau urtikaria generalisata (lihat bab tentang anafilaksis).

Klasifikasi alergi obat menurut gejala klinis

Anafilaksis :edema laring, hipotensi, bronkospasme
Erupsi kulit : urtikaria/angioedema, pruritus, ruam makulopapular morbiliform, erupsi obat fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis, eritema nodusum, eritema multiform, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif, reaksi fotosensitivitas
Kelaianan hematologik : anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia
Kelainan pulmonal : pneumonitis interstisialis/alveolar, edema paru, fibrosis paru
Kelainan hepatik : reaksi kolestasis, destruksi hepatoseluler
Kelainan renal : nefritis interstisialis, glomerulonefritis, sindrom nefrotik
Penyakit serum
Demam obat
Vaskulitis sistemik
Limfadenopati


Demam dapat merupakan gejala tunggal alergi obat, atau bersama gejala klinis lain, yang timbul beberapa jam setelah pemberian obat (tetapi biasanya pada hari ke 7-10), dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat atau sampai beberapa hari kemudian. Diduga demam terjadi akibat pelepasan mediator sitokin. Beberapa jenis obat diduga dapat bersifat pirogen langsung, misalnya amfoterisin B, simetidin, dekstran besi, kalsium, dan dimerkaprol. Mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Pada anak, epinefrin dapat menimbulkan demam karena bersifat vasokonstriktor yang menghambat pengeluaran panas tubuh. Demikian juga pemberian atropin (termasuk tetes mata) serta fenotiazin dapat menimbulkan demam dengan menghambat pembentukan keringat. Beberapa jenis obat seperti alopurinol, azatioprin, barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa, penisilinamin, penisilin, fenitoin, prokainamid, dan kuinidin, sering menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi lain.
Gejala lain adalah sindrom klinis yang tersebut penyakit serum (serum sickness) berupa demam, artralgia, mialgia, neuritis, efusi sendi, urtikaria, erupsi makulopapular, dan edema yang biasanya timbul 1-3 minggu setelah terpajan. Gejala tersebut menghilang dalam beberapa hari atau minggu.

Gejala sistemik yang sering adalah demam, lupus eritematosus medikamentosa, vaskulitis, dan dapat menjadi lebih berat disertai limfadenopati, sesak nafas, edema angioneurotik, serta terkadang nefritis dan karditis. Komplikasi paling berat dapat berupa sindrom Guillain-Barre. Obat penyebab biasanya sulit diketahui karena masa laten yang cukup panjang. Selain itu dapat ditemukan pula gejala kelainan hematologik, kelainan pada organ setempat (hati, paru, ginjal, jantung), atau kelainan sistemik seperti lupus eritematosus sistemik.

DIAGNOSIS
Diagnosis alergi obat seringkali sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat. Kesulitan terbesar adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat tertentu, dan apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri yang sedang diobati. Banyak penulis melaporkan bahwa sebagian besar lesi makulopapular dan urtikaria yang timbul pada seorang anak yang sedang mendapat pengobatan antibiotik sebetulnya berhubungan dan merupakan manifestasi penyakit dasarnya. Selain itu, pasien seringkali sudah mendapat terapi yang berulang dan bermacam-macam. Secara umum kurangnya pengetahuan mengenai immuno kimia metabolisme obat dan immuno reaksi metabolit juga merupakan faktor penyebab kesulitan terhadap diagnostik terhadap alergi obat.

Dasar diagnosis alergi obat yang terpenting adalah :
1. Anamnesis
Evaluasi kecurigaan terhadap alergi obat dimulai dengan riwayat penyakit dan terapi secara rinci. Infeksi yang ditanyakan termasuk daftar semua terapi yang diberikan, meliputi dosis, indikasi, tanggal pemberian & lamanya pemberian terapi tersebut. Dari anamnesis akan diketahui bahwa gejala klinis menghilang beberapa waktu setelah penghentian obat, dan reaksi yang sama timbul kembali dengan pemberian ulang obat yang sama atau dengan struktur sama. Sangat penting untuk mencari hubungan temporal antara masukan obat dengan onset gejala klinis. Interval antara terapi inisial dengan onset reaksi dapat menjadi lebih pendek apabila sebelumnya pasien sudah pernah tersensitisasi oleh obat, sehingga riwayat reaksi obat sebelumnya juga perlu dicari. Dari anamnesis dapat dibedakan antara alergi obat dengan reaksi toksik dan idiosinkrasi. Misalnya gejala gastrointestinal setelah menelan antibiotika, nyeri pada tempat suntikan obat, atau sakit kepala setelah pengobatan nitrogliserin diperkirakan bukan berdasarkan reaksi imunologik.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda bahaya yang dapat mengancam nyawa, seperti kolaps kardiovaskular, termasuk urtikaria, edema laring atau saluran nafas atas, wheezing dan hipotensi. Adanya demam, lesi mukosa membran, limfadenopati, nyeri sendi dan bengkak menandakan reaksi alergi yang berat.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara cermat, terutama dalam memeriksa lesi kulit harus dideskripsikan secara akurat mengenai penampilan dan distribusinya. Masing-masing bentuk lesi kulit dapat mengarah pada reaksi kulit yang berbeda :
  • Erupsi morbiliformis eksantem merupakan ruam obat klasik
  • Urtikaria, lebih mengarah pada respon imun yang diperantarai antibodi IgE atau stimulasi sel mast secara langsung
  • Purpura dan petekiae merupakan stigmata kutaneus dari vaskulitis atau trombositopenia yang diinduksi obat
  • Lesi makulopapular di jari tangan dan kaki atau distribusi serpiginosa di lateral telapak kaki menunjukkan serum sickness
  • Lesi target yang terdiri dari papul eritematosa di sentral, dengan cincin di perifer yang edema dan eritematosa menunjukkan eritema multiforme. Pada bentuk yang lebih luas dapat menjadi lesi yang melepuh dan melibatkan mukosa membran

  • Variasi lesi papul eritematosa atau area pigmentosa sampai lesi papulovesikular bulosa atau urtikaria dapat menunjukkan erupsi obat fikstum
  • Lesi papulovesikular dan berskuama dengan adanya riwayat obat topikal dapat menunjukkan dermatitis kontak
  • Ruam ezkema pada area yang terpapar matahari lebih mengarah pada reaksi fotoalergik

Kriteria umum reaksi hipersensitivitas obat :

  1. Gejala pasien sesuai dengan reaksi imunologi terhadap obat.
  2. Pasien mendapatkan obat yang memang dapat memberikan gejala alergi (struktur kimia obat memang telah dikaitkan dengan reaksi imun).
  3. Terdapat hubungan temporal antara pemberian obat dengan timbulnya gejala reaksi alergi.
  4. Tidak ada penyebab lain yang jelas terhadap manifestasi klinis pasien yang sedang menggunakan obat tertentu yang memang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
  5. Data laboratorium menunjang mekanisme imunologi yang dapat menjelaskan reaksi obat.

Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk kelengkapan diagnosis, berupa uji in vivo dan in vitro terhadap obat atau metabolitnya.

Uji in vivo
Untuk konfirmasi diagnosis alergi obat dapat dilakukan uji in vivo berupa uji kulit dan uji provokasi.

  • Uji tusuk kulit (skin prick test) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi kompleks antigen-IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik, yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat noniritatif untuk menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.
  • Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung risiko yang berbahaya yaitu terjadinya reaksi anafilaksis sehingga hanya dianjurkan untuk dilakukan di tempat yang memiliki fasilitas serta tenaga yang cukup. Oleh karena itu, uji provokasi merupakan indikasi kontra untuk alergi obat berat, misalnya reaksi anafilaksis, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologik, dan eritema vesikobulosa. Uji provokasi ini dilakukan setelah prosedur eliminasi yang lamanya tergantung dari waktu paruh setiap jenis obat, dengan pemberian kembali obat yang dicurigai (obat dengan nama dagang dan kemasan yang sama dengan obat terdahulu). Pada reaksi tipe IV dapat dilakukan patch testing. Adanya eritema, indurasi dan ruam vesikopapular pruritik menujang diagnosis reaksi tipe IV.

    Uji in vitro
    Uji in vitro untuk alergi obat umumnya terbatas sebagai sarana penelitian dan bukan merupakan prosedur rutin. Pemeriksaan yang biasanya merupakan bagian dari suatu penelitian tersebut antara lain adalah IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST (radio allergosorbent test), pelepasan histamin (histamine release), uji sensitisasi jaringan/basofil/leukosit, uji proliferasi dan transformasi blast limfosit, uji hambatan migrasi leukosit, serta esai sitokin dan reseptor sel. Uji in vitro untuk mendeteksi antibodi IgE-spesifik merupakan uji yang spesifik tetapi kurang sensitif. Pemeriksaan laboratorium mengukur aktivasi sel mast dapat dilakukan dalam 4 jam setelah onset reaksi alergi. Histamin serum mencapai puncak dalam 5 menit setelah reaksi anafilaksis dan kembali normal dalam 30 menit, sedangkan serum triptase mencapai puncak dalam 1 jam dan terus meningkat dalam 2-4 jam setelah reaksi. Adanya hasil negatif tidak menunjukkan bukan reaksi alergi akut.
Pada reaksi tipe II dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mencari anemia hemolitik, trombositopenia atau neutropenia. Anemia hemolitik dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan Coombs direk atau indirek yang menunjukkan adanya komplemen dan atau hapten-obat pada membran sel darah merah.

Pada reaksi tipe III, dapat terjadi peningkatan petanda inflamasi nonspesifik seperti laju endap darah dan C-reactive protein. Pemeriksaan laboratorium yang lebih spesifik meliputi pemeriksaan komplemen (C3,C4) atau kompleks imun yang beredar. Adanya hasil negatif juga tidak menyingkirkan penyakit kompleks imun. Vaskulitis sistemik dapat diperiksa melalui uji autoantibodi. Reaksi yang berat atau persisten membutuhkan sarana diagnosis lebih lanjut, antara lain biopsi yang dapat menunjukkan infiltrasi sel inflamasi di perivaskular. Adanya infiltrasi eosinofil menunjang adanya reaksi alergi obat.

Tabel. : Kriteria Klinis Alergi Obat
  1. The observed manifestation do not resemble the pharmacological action of the drug
  2. The reaction are generally similar to those which may,occur with other Antigen.

  3. An induction period commonly 7-10 days is required following initial exposure to the drug

  4. The reaction may be reproduced by cross reacting chemical structures.

  5. The reaction may be reproduced by minute dose of the drug.
  6. Blood and /or tissue eosinophilia may be present.
  7. Discontinuation of the drug result in resolution of the reaction.
  8. The reaction occurs in a minority of patients receiving the drug.

Pengobatan

Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Reaksi kompleks imun biasanya sembuh spontan setelah antigen hilang, namun sebagai terapi simtomatik dapat diberikan antihistamin dan antiinflamasi non-steroid.
Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. Reaksi anafilaktik akut membutuhkan epinefrin, patensi jalan nafas, oksigen, cairan intravena, antihistamin dan kortikosteroid.

  • Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
  • Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
  • Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

  • Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari.

  • Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.

  • Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari.

  • Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral.

  • Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.

    Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan..

    Bila gejala klinis berat (dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologik) harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, transfusi, antibiotik profilaksis). Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, sikatriks, atau kontraktur melalui konsultasi dan kerjasama interdisiplin dengan bagian terkait (mata, kulit, bedah).
    Pada reaksi pseudoalergi seperti pewarnaan radiokontras dapat diberikan terlebih dahulu obat sebelum prosedur pemeriksaan, seperti kortikosteroid, antihistamin dan atau efedrin. Pencegahan reaksi alergi obat merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan. Penggunaan obat yang sering memberikan reaksi alergi, seperti antibiotik, harus diberikan sesuai indikasi. Pemberian obat secara oral lebih sedikit memberikan reaksi alergi dibandingkan parenteral atau topikal. Pemberian obat parenteral harus ditunjang dengan ketersediaan epinefrin atau sarana gawat darurat lain.

    Pencegahan
    Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting untuk selalu dilakukan walaupun harus dinilai dengan kritis untuk menghindari tindakan berlebihan. Misalnya ruam kulit setelah pemberian ampisilin pada seorang anak belum tentu karena alergi obat. Bila dokter telah mengetahui atau sangat curiga bahwa pasiennya alergi terhadap obat tertentu maka hendaknya ia membuatkan surat keterangan tentang hal tersebut yang akan sangat berguna untuk upaya pencegahan pada semua keadaan.
    Semakin sering seseorang memakai obat maka akan semakin besar pula kemungkinan untuk timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat hendaknya dengan indikasi kuat dan bila mungkin hindari obat yang dikenal sering memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu (misalnya aspirin pada asma bronkial).
    Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkan bahan yang potensial dapat menjadi penyebab alergi, atau bahan yang dapat menyebabkan reaksi silang imunogenik. Contohnya adalah pembuatan vaksin bebas protein hewani, atau antibodi dari darah manusia.
    Uji kulit dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya alergi obat, tetapi prosedur ini hanya bermanfaat untuk alergen makromolekul, sedangkan untuk obat dengan berat molekul rendah sejauh ini hanya terhadap penisilin (dengan uji alergen benzilpenisiloil polilisin).
    Bila seseorang telah diketahui atau diduga alergi terhadap obat tertentu maka harus dipertimbangkan pemberian obat lain. Obat alternatif tersebut hendaknya bukan obat yang telah dikenal mempunyai reaksi silang dengan obat yang dicurigai. Misalnya memberikan aminoglikosida sebagai alternatif untuk penisilin. Bila obat tersebut sangat dibutuhkan sedangkan obat alternatif tidak ada, dapat dilakukan desensitisasi secara oral maupun parenteral. Misalnya desensitisasi penisilin untuk penderita penyakit jantung reumatik atau desensitisasi serum antidifteri. Desensitisasi merupakan prosedur yang berisiko sehingga harus dipersiapkan perlengkapan penanganan kedaruratan terutama untuk reaksi anafilaksis.

    Pada umumnya reaksi alergi obat tanpa komplikasi dapat sembuh dengan baik. Meskipun penghentian obat yang menimbulkan reaksi telah dilakukan, namun erupsi obat masih dapat muncul secara lambat atau memburuk dalam beberapa hari. Total waktu untuk pembersihan adalah 1-2 minggu, atau lebih lama.

    Saat ini diperkirakan angka kejadian alergi obat makin meningkat. Laporan dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5% dan sekurang kurangnya 15%-30% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya terhadap 1 macam obat dan 6-10% merupakan alergi obat.Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur, simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.

DAFTAR PUSTAKA
1. VanArsdel PP. Drug hipersensitivity. Dalam: Bierman CW, Pearlman DS, penyunting. Allergic diseases from infancy to adulthood; edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders, 1988; 684-709.
2. Wedner HJ. Drug allergy. Dalam: Stites DP, Terr AI, penyunting. Basic and clinical immunology; edisi ke- 7. Norwalk: Appleton & Lange, 1991; 423-31.
3. Antonov D, Kazandjieva J, Etugov D, et al. Drug-induced lupus erythematosus. Clin Dermatol. Mar-Apr 2004;22(2):157-66.
4. Asnis LA, Gaspari AA. Cutaneous reactions to recombinant cytokine therapy. J Am Acad Dermatol. Sep 1995;33(3):393-410; quiz 410-2.
5. Barbaud A. Drug patch testing in systemic cutaneous drug allergy. Toxicology. Apr 15 2005;209(2):209-16
6. Beylot C, Doutre MS, Beylot-Barry M. Acute generalized exanthematous pustulosis. Semin Cutan Med Surg. Dec 1996;15(4):244-9.
7. Bork K. Adverse drug reactions. In: Demis DJ, ed. Clinical Dermatology. Vol 3. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 1998.
8. Breathnach SM, Hintner H. Adverse Drug Reactions and the Skin. London, England: Blackwell Scientific; 1992. 1992.
9. Brenner S, Bialy-Golan A, Ruocco V. Drug-induced pemphigus. Clin Dermatol. May-Jun 1998;16(3):393-7.
10. Camilleri M, Pace JL. Drug-induced linear immunoglobulin-A bullous dermatosis. Clin Dermatol. May-Jun 1998;16(3):389-91.
11. Campos-Fernandez Mdel M, Ponce-De-Leon-Rosales S, Archer-Dubon C, Orozco-Topete R. Incidence and risk factors for cutaneous adverse drug reactions in an intensive care unit. Rev Invest Clin. Nov-Dec 2005;57(6):770-4.
12. Carr A, Garsia R. Managing HIV. Part 3: Mechanisms of disease. 3.5 How HIV leads to hypersensitivity reactions. Med J Aust. Feb 19 1996;164(4):227-9.
13. Clark BM, Kotti GH, Shah AD, Conger NG. Severe serum sickness reaction to oral and intramuscular penicillin. Pharmacotherapy. May 2006;26(5):705-8
14. Coombs RRA, Gell PGH. Classification of allergic reactions responsible for clinical hypersensitivity and disease. Clin Aspects Immunol. 1968;575-96.
15. Coopman SA, Johnson RA, Platt R, Stern RS. Cutaneous disease and drug reactions in HIV infection. N Engl J Med. Jun 10 1993;328(23):1670-4.
16. Dacey MJ, Callen JP. Hydroxyurea-induced dermatomyositis-like eruption. J Am Acad Dermatol. Mar 2003;48(3):439-41.
17. Daoud MS, Schanbacher CF, Dicken CH. Recognizing cutaneous drug eruptions. Reaction patterns provide clues to causes. Postgrad Med. Jul 1998;104(1):101-4, 107-8, 114-5.
18. Dika E, Varotti C, Bardazzi F, Maibach HI. Drug-induced psoriasis: an evidence-based overview and the introduction of psoriatic drug eruption probability score. Cutan Ocul Toxicol. 2006;25(1):1-11.
19. Ellgehausen P, Elsner P, Burg G. Drug-induced lichen planus. Clin Dermatol. May-Jun 1998;16(3):325-32.
20. Fitzpatrick JE. New histopathologic findings in drug eruptions. Dermatol Clin. Jan 1992;10(1):19-36.
21. French LE, Trent JT, Kerdel FA. Use of intravenous immunoglobulin in toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: our current understanding. Int Immunopharmacol. Apr 2006;6(4):543-9.
22. Green JJ, Manders SM. Pseudoporphyria. J Am Acad Dermatol. Jan 2001;44(1):100-8.
23. Greenberger PA. 8. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol. Feb 2006;117(2 Suppl Mini-Primer):S464-70.
24. Hunziker T, Kunzi UP, Braunschweig S, et al. Comprehensive hospital drug monitoring (CHDM): adverse skin reactions, a 20-year survey. Allergy. Apr 1997;52(4):388-93.
25. Iannini P, Mandell L, Felmingham J, et al. Adverse cutaneous reactions and drugs: a focus on antimicrobials. J Chemother. Apr 2006;18(2):127-39.
26. Keet I, Meyaard L, Boucher E, et al. Allergic reactions to cotrimoxazole correlate with decreased T-cell reactivity compatible with a Th1 to Th2 shift [abstr PO-A19-0404]. Int Conf AIDS. 1993;9 (1):202.
27. Kramer MS, Leventhal JM, Hutchinson TA, Feinstein AR. An algorithm for the operational assessment of adverse drug reactions. I. Background, description, and instructions for use. JAMA. Aug 17 1979;242(7):623-32.
28. Lerch M, Pichler WJ. The immunological and clinical spectrum of delayed drug-induced exanthems. Curr Opin Allergy Clin Immunol. Oct 2004;4(5):411-9.
29. Litt JZ. Drug Eruption Reference Manual 2002. New York, NY: Parthenon; 2002.
30. MacMorran WS, Krahn LE. Adverse cutaneous reactions to psychotropic drugs. Psychosomatics. Sep-Oct 1997;38(5):413-22.
31. Mayorga C, Pena RR, Blanca-Lopez N, et al. Monitoring the acute phase response in non-immediate allergic drug reactions. Curr Opin Allergy Clin Immunol. Aug 2006;6(4):249-57
32. McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunol Allergy Clin North Am. Aug 2004;24(3):399-423, vi.
33. Nigen S, Knowles SR, Shear NH. Drug eruptions: approaching the diagnosis of drug-induced skin diseases. J Drugs Dermatol. Jun 2003;2(3):278-99.
34. Pereira FA, Mudgil AV, Rosmarin DM. Toxic epidermal necrolysis. J Am Acad Dermatol. Feb 2007;56(2):181-200.
35. Revuz J, Valeyrie-Allanore L. Drug reactions. In: Dermatology. Vol 1. Philadelphia, Pa: Mosby; 2003:. 333-53.
36. Roe E, Garcia Muret MP, Marcuello E, et al. Description and management of cutaneous side effects during cetuximab or erlotinib treatments: a prospective study of 30 patients. J Am Acad Dermatol. Sep 2006;55(3):429-37.
37. Roujeau JC, Kelly JP, Naldi L, et al. Medication use and the risk of Stevens-Johnson syndrome or toxic epidermal necrolysis. N Engl J Med. Dec 14 1995;333(24):1600-7.
38. Roujeau JC, Bioulac-Sage P, Bourseau C, et al. Acute generalized exanthematous pustulosis. Analysis of 63 cases. Arch Dermatol. Sep 1991;127(9):1333-8.
39. Shapiro LE, Shear NH. Mechanisms of drug reactions: the metabolic track. Semin Cutan Med Surg. Dec 1996;15(4):217-27.
40. Shipley D, Ormerod AD. Drug-induced urticaria. Recognition and treatment. Am J Clin Dermatol. 2001;2(3):151-8.
41. Stern RS, Steinberg LA. Epidemiology of adverse cutaneous reactions to drugs. Dermatol Clin. Jul 1995;13(3):681-8.
42. Susser WS, Whitaker-Worth DL, Grant-Kels JM. Mucocutaneous reactions to chemotherapy. J Am Acad Dermatol. Mar 1999;40(3):367-98; quiz 399-400.
43. Tsankov N, Angelova I, Kazandjieva J. Drug-induced psoriasis. Recognition and management. Am J Clin Dermatol. May-Jun 2000;1(3):159-65.
44. Vervloet D, Durham S. Adverse reactions to drugs. BMJ. May 16 1998;316(7143):1511-4.
45. Ward HA, Russo GG, Shrum J. Cutaneous manifestations of antiretroviral therapy. J Am Acad Dermatol. Feb 2002;46(2):284-93.
46. Warnock JK, Morris DW. Adverse cutaneous reactions to antidepressants. Am J Clin Dermatol. 2002;3(5):329-39.
47. Warnock JK, Morris DW. Adverse cutaneous reactions to mood stabilizers. Am J Clin Dermatol. 2003;4(1):21-30.
48. Wolf R, Orion E, Marcos B, Matz H. Life-threatening acute adverse cutaneous drug reactions. Clin Dermatol. Mar-Apr 2005;23(2):171-81.
49. Wolverton SE. Update on cutaneous drug reactions. Adv Dermatol. 1997;13:65-84.
50. Wyatt AJ, Leonard GD, Sachs DL. Cutaneous reactions to chemotherapy and their management. Am J Clin Dermatol. 2006;7(1):45-63. [Medline].
51. Sullivan TJ. Drug allergy. Dalam: Sullivan TJ, penyunting. Allergy. Principle and practice; edisi ke-4. St. Louis: Mosby, 1993; 1726-46.
52. Riedl MA, Casillas AM. Adverse drug reactions : types and treatment options. American Family Physician, 2003; 68:9.
53. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Adverse drug reaction. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson, Textbook of Pediatrics, edisi ke 16, WB Saunders Company, 2000; 689 – 692.
54. Stiehm ER, Ochs HD, Winkelstein JA. Drug Allergy. Dalam: Stiehm ER, penyunting. Immunologic Disorder in Infants and Children, edisi ke 5, Elseiver Saunders, 1992; 983 – 985.






1 comment: