Monday, November 10, 2008

ANTIHISTAMIN ADALAH OBAT ORAL ANTI ALERGI YANG SERING DIGUNAKAN

TERAPI ANTIHISTAMIN PADA PENDERITA ALERGI




Dr Widodo Judarwanto SpA

CHILDREN ALLERGY CLINIC
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 70081995
email :
cfc2006@hotmail.com ,allergyonline@gmail.com
PENDAHULUAN
  • Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Perubahan dalam penggolongan antihistamin H1. Sebelumnya antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1.
  • Seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1. Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Obat jenis ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan.
  • Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.
  • Antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.

GENERASI ANTIHISTAMIN

Generasi pertama

  • Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua.
  • Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif.
  • Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas.
  • Antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.

Generasi ke dua

  • Generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.

Generasi ke tiga

  • Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine).
  • Generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal.
  • Fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine.
  • Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadin.
  • Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori.
  • Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.

MEKANISME KERJA ANTIHISTAMIN DI DALAM TUBUH

  • Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari sementara metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien yang menerima ketokonazol, eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya.
  • Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%.
  • Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati.

INDIKASI PENGGUNANAN

  • Antihistamin generasi pertama untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan.
  • Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness.
  • Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik.
    Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation.

KONTRAINDIKASI

  • hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua.

EFEK SAMPING

  • Antihistamin Generasi Pertama,
    Alergi : fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
    Jantung dan pembuluh darah : ARITMIA, DISRITMIA, hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi injeksi (IV prometazin)
    Sistem Saraf Pusat - drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
    Saluran cerna : epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
    Saluran kencing urinary frequency, dysuria, urinary retention
    Saluran napas : dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray)
  • Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga
    Alergi : fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
    SSP – mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
    Saluran napas : mulut kering
    Saluran cerna : nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
    Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi pertama
    Efek samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama.

PEMILIHAN ANTIHISTAMIN

  • Keputusan untuk memilih suatu antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi semisal rhinitis alergica atau urtikaria idiosinkratik kronik harus berdasarkan pada harga, frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi, dan efek samping. Semua antihistamin generasi pertama kini telah ada dalam sediaan generik serta sediaan OTC dengan harga lebih murah.
  • Namun tidak demikian halnya dengan antihistamin generasi kedua dan ketiga. Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu pertimbangan.
    Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara klinis menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari generasi pertama.
  • Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness sangatlah subjektif, hanya dirasakan oleh individu dan tidak bisa jadi bukti klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek fexofenadine, diphenhydramine, alkohol, dan placebo terhadap kemampuan mengendarai. Subjek yang memperoleh fexofenadine mampu mengendarai selayaknya placebo. Sedang subjek yang menerima diphenhydramine memiliki kemampuan mengendarai paling buruk, diikuti dengan subjek yang menerima alcohol.
  • The Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma, and Immunology menekankan bahwa efek sedasi dan gangguan performance dari antihistamin generasi pertama adalah berisiko baik untuk penderita.
  • Untuk mengatasi rhinitis alergi dan gangguan alergi kronis lainnya direkomendasikan suatu strategi baru, yakni terapi antihistamin“AM/PM”. Penderita diberikan antihistamin generasi kedua dan ketiga yang lebih sedikit atau bahkan tidak ada efek sampingnya sebelum pemberian antihistamin generasi pertama. Dosis siang hari generasi kedua dan ketiga, sedangkan dosis malam hari diberikan generasi pertama. Selain bisa mengoptimalkan terapi dengan efek samping minimal, strategi ini juga lebih murah karena tetap bisa menggunakan antihistamin generasi pertama yang lebih murah

DAFATAR PUSTAKA

  • Baker AM, Johnson DG, Levisky JA. Fatal diphenhydramine intoxication in infants. J Forensic Sci. Mar 2003;48(2):425-8.
  • Buckley NA, Whyte IM, Dawson AH, Cruickshank DA. Pheniramine--a much abused drug. Med J Aust. Feb 21 1994;160(4):188-92. [
  • Clark RF, Vance MV. Massive diphenhydramine poisoning resulting in a wide-complex tachycardia: successful treatment with sodium bicarbonate. Ann Emerg Med. Mar 1992;21(3):318-21.
  • Feldman MD, Behar M. A case of massive diphenhydramine abuse and withdrawal from use of the drug [letter]. JAMA. Jun 13 1986;255(22):3119-20.
  • Freedberg RS, Friedman GR, Palu RN, Feit F. Cardiogenic shock due to antihistamine overdose. Reversal with intra- aortic balloon counterpulsation. JAMA. Feb 6 1987;257(5):660-1.
  • Henry DA, Lowe JM, Donnelly T. Jaundice during cyproheptadine treatment. Br Med J. Mar 25 1978;1(6115):753.
  • Janssens F, Leenaerts J, Diels G. Norpiperidine imidazoazepines as a new class of potent, selective, and nonsedative H1 antihistamines. J Med Chem. Mar 24 2005;48(6):2154-66.
  • Jones J, Dougherty J, Cannon L. Diphenhydramine-induced toxic psychosis. Am J Emerg Med. Jul 1986;4(4):369-71.
  • Khosla U, Ruel KS, Hunt DP. Antihistamine-induced rhabdomyolysis. South Med J. 2003;96(10):1023-6.
  • Kirk MA. Anticholinergics and antihistamines. In: Haddad LM, Shannon MW, Winchester JF, eds. Clinical Management of Poisoning and Drug Overdose. 3rd ed. WB Saunders Co; 1998:641-9.
  • Koppel C, Ibe K, Tenczer J. Clinical symptomatology of diphenhydramine overdose: an evaluation of 136 cases in 1982 to 1985. J Toxicol Clin Toxicol. 1987;25(1-2):53-70.
  • Litovitz TL, Klein-Schwartz W, White S, et al. 1999 annual report of the American Association of Poison Control Centers Toxic Exposure Surveillance System. Am J Emerg Med. Sep 2000;18(5):517-574.
  • Normann S. Antihistamines. In: POISINDEX(R) Toxicologic Management. Micromedex, Inc;1988.








No comments:

Post a Comment